KESUSASTRAAN
Sastra berasal dari kata castra berarti
tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan
macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu
pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan
sebagainya.
Sastra dalam arti khusus yang kita
gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat
diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya
melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara
morfologis, kesusastraan dibentuk dari dua kata, yaitu su dan sastra
dengan mendapat imbuhan ke- dan -an. Kata su berarti baik atau bagus,
sastra berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan dapat diartikan
sebagai tulisan yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa, bentuk,
maupun isinya.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan
pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai
segala hal yang berhubungan dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai
salah satu aspek kegiatan sastra meliputi hal-hal berikut.
Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra
yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar
sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem
sastra.
Sejarah sastra, yaitu ilmu yang
mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan yang terbaru.
Kritik sastra, yaitu ilmu yang
mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian
terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama telaah
sastra.
Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang
meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan
semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra.
Keempat cabang ilmu tersebut tentunya
mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam rangka memahami sastra
secara keseluruhan.
Teori sastra adalah asas-asas dan
prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
Seni sastra adalah proses kreatif
menciptakan karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi,
cerpen/novel, atau drama.
Karya sastra pada dasarnya adalah
sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya.
Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat
yang dikomunikasikan kepada pembaca. Untuk menangkap ini, pembaca
harus mampu mengapresiasikannya. Pengetahuan tentang pengertian
sastra belum lengkap bila belum tahu manfaatnya. Horatius mengatakan
bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih jelas
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Karya sastra dapat membawa pembaca
terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai
kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin
dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
2. Karya sastra dapat memperkaya
jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam
karya.
3. Karya sastra dapat memperkaya
pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita,
serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
4. Karya sastra mengandung unsur
pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya
bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk
menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi
pembacanya.
5. Karya sastra dapat dijadikan sebagai
bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya
masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu
tertentu.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana
dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa
bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa
berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang
mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang
koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama
tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan
dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah
sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu.
Masalah sastra dan seni sangat erat
hubungannya dengan ilmu budaya dasar, karena materi-materi yang
diulas oleh ilmu budaya dasar ada yang berkaitan dengan sastra dan
seni.Budaya Indonesia sanagat menunjukkan adanya sastra dan seni
didalamnya. Latar belakang IBD dalam konteks budaya, negara dan
masyarakat Indonesia berkaitan dengan masalah sebagai berikut :
1. Kenyataan bahwa bangsa indonesia
berdiri atas suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yg
tercemin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yg biasanya tidak lepas
dari ikatan2 primordial, kesukaan, dan kedaerahan.
2. Proses pembangunan yg sedang
berlangsung dan terus menerus menimbulkan dampak positif dan negatif
berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya
sehingga dengan sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya.
3. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan mausia, menimbulkan
konflik dengan tata nilai budayanya, sehingga manusia bingung sendiri
terhadap kemajuan yg telah diciptakannya.
- IBD Yang Di Hugungkan Dengan Prosa
Istilah prosa banyak padanannya
kadang-kadang disebut naratif fiction, prose fictic, atau hanya
fiction saja dalam bahasa Indonesia istilah tadi sering diterjemahkan
menjadi cerita rekaan dan didefinisikan sebagai bentuk cerita atau
prosa kisahan yang mempunyai pemeran, lakuan, peristiwa dan alur yang
dihasilkan oleh daya khayal yang dipakai pada roman, novel dan cerita
pendek
Prosa adalah karya sastra yang disusun
dalam bentuk cerita secara bebas, yang tidak terikat rima dan irama.
Jenis-jenis Prosa : Prosa lama dan
prosa baru.
- Prosa lama meliputi
1. Dongeng-dongeng
2. Hikayat
3. Sejarah
4. Epos
5. Cerita pelipur lara
- Prosa baru meliputi
1. Cerita pendek
2. Roman/ novel
3. Biografi
4. Kisah
5. Otobiografi
Proses Penciptaan Kesusastraan
Seorang pengarang berhadapan dengan
suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif).
Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa,
norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan lain-lain bentuk-bentuk
realitas objektif itu. Ia ingin memberontak dan memprotes. Sebelum
pemberontakan tersebut dilakukan (ditulis) ia telah memiliki suatu
sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah ada suatu sikap maka ia
mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti
realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia
ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba
mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang dia temukan. Ia
ingin berpesan melalui ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu
yang ia anggap sebagai masalah manusia.
Ia berusaha merubah fakta-fakta yang
faktual menjadi fakta-fakta yang imajinatif dan bahkan menjadi
fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan justru disampaikan dalam
nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak semata-mata pesan-pesan
moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk akan tetapi
menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan dalam
keterpesonaan dan senandung.
Dalam kesusastraan Indonesia masalah
itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya kenyataan-kenyataan yang ada
sekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah
masalah : kawin paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya suatu
sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu. Sikap itu bersifat
subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi sikap itu
juga bersifat intersubjektif karena sikap itu dirasakan pula sebagai
aspirasi yang umum. Sikap-sikap subjektif dan intersubjektif itulah
yang kemudian diungkapkan di dalam ciptasastra-ciptasasra.
Ciptasatra-ciptasastra tiu tidak saja
lagi sebagai pernyataan dari sikap akan tetapi juga merupakan
pernyataan dari ciri-ciri berhubung dengan realitas objektif
tresebut. Diungkapkan dalam suatu transformasi (warna) yang artistik,
sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) kesusastraan.
Karena itu sebuah ciptasastra selain
merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan
pengungkapan hati nurani masyarakatnya.
Di dalamnya terdapat sikap, visi
(pandangan hidup), cita-cita dan konsepsi dari pengarangnya. Dari
masalah kawin paksa misalnya dalam kesusastraan Indoneisa lahirlah
ciptasastra-ciptasastra : “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli,
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dari Hamka dan “Salah
Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra-
ciptasastra yang baik).
Sebuah ciptasastra merupakan kritik
terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku. Atau seperti yang
dikatakan Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang
pernah mendapat hadiah Nobel) merupakan pemberontakan terhadap
realitas. Karyasastra Marah Rusli “Siti Nurbaya” merupakan kritik
terhadap tata kehidupan masyarakat Minangkabau sekitar tahun 1920 –
1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”
ataupun “Salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir
Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia
yang masih statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik
terhadap ekses-ekses dan hal-hal yang negatif dari revolusi fisik.
Demikian pula dengan sajak-sajak Khairil Anwar, kumpulan puisi Taufik
Ismail ‘Benteng” dan “Tirani” atau juga novel Bambang Sularto
“Domba-Domba Revolusi”.
Ciptasastra merupakan sintesa dari
adanya tesa dan anti tesa. Tesa disini adalah kenyataan-kenyataan
yang dihadapi. Antitesa adalah sikap-sikap yang bersifat subjektif
dan intersubjektif. Sedangkan sintesa adalah hasil dari perlawanan
antara tesa dengan antitesa itu. Bersifat idealis, imajinatif dan
kreatif, berdasarkan cita-cita dan konsepsi pengarang.
Semuanya diungkapkan melalui bahasa
sebagai media. Dengan demikian di dalam kesustraan ada beberapa
faktor yang menjadi bahan pertimbangan. Yaitu faktor-faktor :
Persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan dan faktor bahasa
atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah
pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup
(manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan
nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta
diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.
Bentuk-bentuk Kesusastraan
Ada beberapa bentuk kesusastraan :
Puisi
Cerita Rekaan (fiksi)
Essay dan Kritik
Drama
Apakah yang membedakan antara puisi
dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses
pengungkapannya. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut
Proses konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi yakni
proses pemusatan terhadap suatu focus suasana dan masalah, sedang
proses intensifikasi adalah proses m pendalaman terhadap suasana dan
masalah tersebut. Unsur-unsur struktur puisi berusaha membantu
tercapainya kedua proses itu. Inilah hakekat puisi, yang kurang
terlihat dalam proses (cerita rekaan, esei dan kritik serta drama).
Pada prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat
saja muncul di luar suasana dan masalah pokok yang ingin diungkapkan
seorang pengarang dalam ciptasastranya.
Cerita-cerita (fiksi) sering dibedakan
atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen), novel, dan
roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpanya hanya
dikenal istilah : cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak
ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika
adalah juga “novel”.
Perbedaan antara ketiga bentuk cerita
rekaan itu tidaklah hanya terletak pada panjang pendeknya cerita
tersebut. Atau pada jumlah kata-katanya. Ada ukuran lain yang
membedakannya. Cerita-pendek(cerpen) merupakan pengungkapan suatu
kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Daripada tidak
dituntut terjadinya suatu perobahan nasib dari pelaku-pelakunya.
Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia, yang terjadi
pada suatu kesatuan waktu.
Novel merupakan pengungkapan dari
fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana
terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel
dalam kesusastraan Indonesia misalnya adalah “Belenggu” karya
Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, “Merahnya Merah”
karya Iwan Simatupang.
Dalam “Belenggu” misalnya setelah
terjadi konflik-konflik antara dr. Sukartono, Sumartini, Rokhayah,
maka akhirnya terjadilah perubahan jalan hidup pada masing-masing
pelaku novel tersebut. Begitu juga antara Sutan Duano dalam “kemarau”
dengan anaknya setelah terjadi konflik-konflik kemudian diikuti pula
dengan perubahan jalan nasib. Demikian pula dalam “Merahnya Merah”.
Tokoh kita, Fifi dan Maria mengalami perubahan jalan nasib setelah
terjadi konflik-konflik.
Roman merupakan bentuk kesusastraan
yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan
manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai
menjadi dewasa, akhirnya meninggal. Sebagai contoh misalnya roman
“Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ataupun
roman “Atheis” karya Akhdiat Kartamiharja.
Istilah roman bersalah dari
kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat sehari-hari
di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita
tentang pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita
kehidupan yang jenaka, dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah
menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya.
Hakekat dari cerita rekaan ialah
bercerita. Ada yang diceritakan dan ada yang menceritakan.
Bentuk ciptasatra yang lain adalah esei
dan kritik. Esei adalah suatu karangan yang berisi
tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu
persoalan. Setiap esei bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa
sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi dan pendirian
pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan
keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup
pada umumnya. Dalam esei tidak diperlukan adanya suatu konklusi
(kesimpulan). Esei bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan
alternatif-alternatif.
Berbeda dengan esei adalah studi. Ia
merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga
bersifdat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang
objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik
(sastra) yang baik juga harus lebih banyak memperlihatkan
alternatif-alternatif daripada memberikan vonis. Beberapa penulis
esei yang terkenal dalamf kesusastraan Indonesia adalah Gunawan
Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh
(Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh kritikus
yang terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw,
M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad,
Umar Yunus dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan yang lain adalah
drama atau sandiwara (sandi = rahasia, Wara = pelajaran). Artinya
pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang
digolongkan ke dalam ciptasastra bukanlah drama atau sandiwara yang
dimainkan (dipergelarkan) tetapi adalah cerita, atau naskah, atau
reportoar yang akan dimainkan tersebut.
Hakekat drama adalah terjadinya suatu
konflik. Baik konflik antara tokoh, ataupun konflik dalam persoalan
maupun konflik dalam diri seorang tokoh. Konflik inilah nanti yang
akan mendorong dialog dan menggerakkan action.
Karya Sastra dan Periodisasinya
A. Karya Sastra Bentuk Prosa
Karangan prosa ialah karangan yang
bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau
hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada dasarnya karya bentuk prosa
ada dua macam, yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya
sastra yang bersifat bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan
karya sastra yang kreatif imajinatif, sedangkan karya sastra yang
bukan astra ialah karya sastra yang nonimajinatif.
Macam Karya Sastra Bentuk Prosa
Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal
dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra
lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra
bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra
prosa baru.
Perbedaan prosa lama dan prosa baru
menurut Dr. J. S. Badudu adalah:
Ciri-ciri prosa lama dan baru
Prosa lama:
1. Cenderung bersifat stastis, sesuai
dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara
lambat.
2. Istanasentris ( ceritanya sekitar
kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat
feodal).
3. Hampir seluruhnya berbentuk
hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca
dibawa ke dalam khayal dan fantasi.
4. Dipengaruhi oleh kesusastraan
Hindu dan Arab.
5. Ceritanya sering bersifat anonim
(tanpa nama)
6. Milik bersama
Prosa Baru:
1. Prosa baru bersifat dinamis
(senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat)
2. Masyarakatnya sentris ( cerita
mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari)
3. Bentuknya roman, cerpen, novel,
kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan
kenyataan
4. Terutama dipengaruhi oleh
kesusastraan Barat
5. Dipengaruhi siapa pengarangnya
karena dinyatakan dengan jelas
6. Tertulis
PENGERTIAN PROSA LAMA DAN BARU
1. Prosa lama
Prosa lama adalah karya sastra daerah
yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam
hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan
sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh
barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan
sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul
disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk
tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam
masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah
sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra
pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.
Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:
a. Mite adalah dongeng yang banyak
mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau
peri. Contoh Nyi Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang
dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI
Malin Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang pelaku
utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa
lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta
kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.
e. Dongeng adalah suatu cerita yang
bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
f. Cerita berbingkai adalah cerita
yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh
pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang
timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru
timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan
abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah
karangan H. Moekti.
Berdasarkan isi atau sifatnya prosa
baru dapat digolongkan menjadi:
1. Roman adalah cerita yang
mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati, mengungkap
adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh,
alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk
dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita
tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan
Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung
Padam
2. Riwayat adalah suatu karangan
prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri
(otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil
hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto
Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau Ki hajar Dewantara.
3. Otobiografi adalah karya yang
berisi daftar riwayat diri sendiri.
4. Antologi adalah buku yang
berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit
Biru karya Ayip Rosyidi
5. Kisah adalah riwayat
perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian
mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh:
Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
6. Cerpen adalah suatu karangan
prosa yang berisi sebuah peristiwa kehidupan manusia, pelaku, tokoh
dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya dengan Perahu Bugis karangan
Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan Idrus.
7. Novel adalah suatu karangan
prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar
biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB.
Mangunwijaya.
8. Kritik adalah karya yang
menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi
alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yangs
ifatnya objektif dan menghakimi.
9. Resensi adalah
pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film, drama,
dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya
tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog,
dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu
tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
10. Esei adalah ulasan/kupasan suatu
masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi
penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan,
ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik,
pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga
bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.
Identifikasi Moral, Estetika, Sosial,
Budaya Karya Sastra
1. Identifikasi Moral
Sebuah karya umumnya membawa pesan
moral. Pesan moral dapat disampaikan oleh pengarang secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam karya satra, pesan moral
dapat diketahui dari perilaku tokoh- tokohnya atau komentar
langsung pengarangnya lewat karya itu.
2. Identifikasi Estetika atau Nilai
Keindahan
Sebuah karya sastra mempunyai
aspek-aspek keindahan yang melekat pada karya sastra itu. Sebuah
puisi, misalnya: dapat diamati aspek persamaan bunyi,
pilihan kata, dan lain-lain. Dalam cerpen dapat diamati pilihan gaya
bahasanya.
3. Identifikasi Sosial Budaya
Suatu karya sastra akan mencerminkan
aspek sosial budaya suatu daerah tertentu. Hal ini berkaitan dengan
warna daerah. Sebuah novel misalnya, warna daerah memiliki corak
tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Beberapa karya sastra
yang mengungkapkan aspek sosial budaya:
a. Pembayaran karya Sunansari Ecip
mengungkapkan kehidupan di Sulawesi Selatan.
b. Bako Karya Darman Moenir
mengungkapkan kehidupan Suku Minangkabau di Sumatera Barat.
Puisi (dari bahasa Yunani kuno:
ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) adalah
seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya
untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.
Penekanan pada segi estetik suatu
bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang
membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan.
Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi
tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi
manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi
juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke
dalam keadaan hatinya.
Baris-baris pada puisi dapat berbentuk
apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan
salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi
kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus
diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi
tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki
alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang
membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Ada
beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru
Namun beberapa kasus mengenai puisi
modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika
ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan
kata'. kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan
lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut.
Didalam puisi juga biasa disisipkan
majas yang membuat puisi itu semakin indah. Majas tersebut juga ada
bemacam, salah satunya adalah sarkasme yaitu sindiran langsung dengan
kasar.
Dibeberapa daerah di Indonesia puisi
juga sering dinyanyikan dalam bentuk pantun. Mereka enggan atau tak
mau untuk melihat kaidah awal puisi tersebut.
Struktur fisik puisi terdiri dari:
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu
bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi
kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata
yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah
bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak
hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan
kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata.
Imaji, yaitu kata atau susunan
kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang
dialami penyair.
Kata konkret, yaitu kata yang dapat
ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata
ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata kongkret
“salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll.,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat
kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
Gaya bahasa, yaitu penggunaan
bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
Gaya bahasa disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain
metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke,
eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
Rima/Irama adalah persamaan bunyi
pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima
mencakup: Onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang
memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.),
Bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak
berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya.