Kewajiban Negara, Kok
Warga yang Diancam Pidana
Keamanan dan keselamatan dalam memenuhi kebutuhan listrik adalah kewajiban
negara. Ia menjadi hak warga negara untuk mendapatkan pemenuhan tenaga listrik. Apa jadinya jika
kemudian warga disuruh membayar rasa aman itu kepada pihak lain, lalu mereka
yang tak memenuhi standar keamanan listrik diancam dengan pidana penjara?
Inilah yang dinilai diskriminatif oleh dua ahli tata negara saat menguraikan kelemahan konstruksi Pasal 44 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Aidil Fitriciada Azhari, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Febrin, dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, menilai Pasal itu bertentangan dengan konstitusi.
Betapa tidak, Pasal 44 ayat (4) tadi mewajibkan setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi (SLO). Untuk mendapatkan SLO itu, mau tidak mau, warga masyarakat dikenakan pungutan. Dengan kata lain usaha instalasi tenaga listrik harus membayar kepada pihak ketiga yang mengeluarkan sertifikat itu agar ada jaminan keamanan instalasi listrik. Selama ini rincian biaya atau tarif pemeriksaan di Komite Nasional Kelamatan untuk Instalasi Listrik (Konsuil) dikenakan biaya berdasarkan Surat Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan No. 1738 Tahun 2013.
“Nalar hukum sumber kewenangan dari lingkup jabatan terhadap penetapan (biaya—red) jelas bersifat sepihak, dan hak rakyat tidak diletakkan kepada jabatan dan sumber wewenang yang tepat dan dibenarkan oleh hukum,” kata Febrian.
Selain dibebani kewajiban membayar agar dapat SLO, usaha instalasi listrik juga terancam pidana jika tak mendapatkan SLO. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyebutkan setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah.
Ancaman pidana inilah yang dikritik Aidul Fitriciada. “Jaminan keamanan dalam penggunaan tenaga listrik harus dipandang sebagai hak yang wajib dipenuhi Negara, dan bukan kewajiban yang memiliki akibat hukum pidana bagi yang tidak melakukannya,” kata pria bergelar doktor ilmu hukum itu.
Ia menunjuk norma dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenan on Economic, Sosial, and Cultural Rights) yang sudah diratifikasi Indonesia. Di sini hak asasi untuk memperoleh perumahan yang layak adalah bagian dari hak untuk memperoleh standar hidup yang layak. Perumahan yang layak mencakup pula pemenuhan listrik.
“Pemenuhan atas perumahan yang layak, termasuk di dalamnya pemenuhan atas tenaga listrik, terkait dengan kewajiban negara, terutama pemerintah,” tegasnya.
Febrian berpendapat SLO masuk ranah hukum administratif. “Oleh karena itu, sanksi terhadap pelanggaran norma SLO adalah sanksi administratif, bukan sanksi pidana,” tegasnya.
Seorang warga negara Indonesia, Ibnu Kholdun, mempersoalkan UU Ketenagalistrikan ke Mahkamah Konstitusi. Febrian dan Aidul Fitriciada Azhari hadir sebagai ahli dalam pengujian ini. Ibnu menilai Pasal 44 ayat (4) adalah norma diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945.
Ketua majelis panel perkara ini, Hamdan Zoelva, meminta agar Perkumpulan Perlindungan Instalasi Listrik Nasional (PPILN) dan Konsuil dihadirkan ke dalam sidang mendatang. Majelis ingin melihat akta perizinan lembaga ini.
Inilah yang dinilai diskriminatif oleh dua ahli tata negara saat menguraikan kelemahan konstruksi Pasal 44 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Aidil Fitriciada Azhari, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Febrin, dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, menilai Pasal itu bertentangan dengan konstitusi.
Betapa tidak, Pasal 44 ayat (4) tadi mewajibkan setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi (SLO). Untuk mendapatkan SLO itu, mau tidak mau, warga masyarakat dikenakan pungutan. Dengan kata lain usaha instalasi tenaga listrik harus membayar kepada pihak ketiga yang mengeluarkan sertifikat itu agar ada jaminan keamanan instalasi listrik. Selama ini rincian biaya atau tarif pemeriksaan di Komite Nasional Kelamatan untuk Instalasi Listrik (Konsuil) dikenakan biaya berdasarkan Surat Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan No. 1738 Tahun 2013.
“Nalar hukum sumber kewenangan dari lingkup jabatan terhadap penetapan (biaya—red) jelas bersifat sepihak, dan hak rakyat tidak diletakkan kepada jabatan dan sumber wewenang yang tepat dan dibenarkan oleh hukum,” kata Febrian.
Selain dibebani kewajiban membayar agar dapat SLO, usaha instalasi listrik juga terancam pidana jika tak mendapatkan SLO. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyebutkan setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah.
Ancaman pidana inilah yang dikritik Aidul Fitriciada. “Jaminan keamanan dalam penggunaan tenaga listrik harus dipandang sebagai hak yang wajib dipenuhi Negara, dan bukan kewajiban yang memiliki akibat hukum pidana bagi yang tidak melakukannya,” kata pria bergelar doktor ilmu hukum itu.
Ia menunjuk norma dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenan on Economic, Sosial, and Cultural Rights) yang sudah diratifikasi Indonesia. Di sini hak asasi untuk memperoleh perumahan yang layak adalah bagian dari hak untuk memperoleh standar hidup yang layak. Perumahan yang layak mencakup pula pemenuhan listrik.
“Pemenuhan atas perumahan yang layak, termasuk di dalamnya pemenuhan atas tenaga listrik, terkait dengan kewajiban negara, terutama pemerintah,” tegasnya.
Febrian berpendapat SLO masuk ranah hukum administratif. “Oleh karena itu, sanksi terhadap pelanggaran norma SLO adalah sanksi administratif, bukan sanksi pidana,” tegasnya.
Seorang warga negara Indonesia, Ibnu Kholdun, mempersoalkan UU Ketenagalistrikan ke Mahkamah Konstitusi. Febrian dan Aidul Fitriciada Azhari hadir sebagai ahli dalam pengujian ini. Ibnu menilai Pasal 44 ayat (4) adalah norma diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945.
Ketua majelis panel perkara ini, Hamdan Zoelva, meminta agar Perkumpulan Perlindungan Instalasi Listrik Nasional (PPILN) dan Konsuil dihadirkan ke dalam sidang mendatang. Majelis ingin melihat akta perizinan lembaga ini.
Analisis berita di atas adalah tentang warga disuruh membayar rasa aman itu kepada pihak lain, lalu mereka yang
tak memenuhi standar keamanan listrik diancam dengan pidana penjara, dan Ancaman
pidana inilah yang dikritik Aidul Fitriciada. “Jaminan keamanan dalam
penggunaan tenaga listrik harus dipandang sebagai hak yang wajib dipenuhi
Negara, dan bukan kewajiban yang memiliki akibat hukum pidana bagi yang tidak
melakukannya,” kata pria bergelar doktor ilmu hukum itu
Dimana sistem yang
diterapkan Indonesia kekinian ini masih mengalami dilema. "Apakah
demokrasi mobilisasi yang kita adopsi atau ada pemahaman lain dalam sistem
demokrasi saat ini," ucapnya.
Jakarta, Aktual.co — Dalam sistem demokrasi saat ini setidaknya ada lima isu yang menjadi perhatian dunia. Pertama tentang hak asasi manusia (HAM) yang dinilai sering kali dalam memaknainya keluar dari norma-norma yang ada.
"Saya rasa seluruh dunia sudah
berbicara tentang hak asasi manusia, bahkan sering kebablasan, tidak sedikit
membicarakan human right itu kebablasan.
Yang bisa menabrak norma-norma yang diyakini begitu penting, itu pun karena human right yang dilabrak," ujar kepala
BNP2TKI, Jumhur Hidayat dalam acara seminar nasional BEM Se Indonesia, di Cibubur,
Senin (4/3).
Selanjutnya, sambung Jumhur, soal sistem
demokrasi yang diterapkan oleh hampir semua negara di dunia. Meski Indonesia
sudah menjalankan 15 tahun lalu, dalam sistem demokrasi akan tersisih bila
suatu negara tidak mengadopsinya. Dimana sistem yang diterapkan Indonesia
kekinian ini masih mengalami dilema.
"Apakah demokrasi mobilisasi yang
kita adopsi atau ada pemahaman lain dalam sistem demokrasi saat ini,"
ucapnya.
Isu ketiga, kata Jumhur, yakni tentang human development atau pembangunan manusia.
Terkait dengan persoalan kemiskinan, kekurangan gizi, yang menjadi isu penting.
"Meski dunia tetap tumbuh tetapi kesenjangan tetap bertambah,
termasuk di Indonesia dimana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi 6,3 persen,
kemudian kesenjangan meningkat dari 0,33 menjadi 0,41 persen 2012," jelas
dia.
Kemudian isu keempat mengenai lingkungan.
Ini adalah satu fenomena yang berkembang dan terus berkembang jumlahnya,
sehingga batas antar negara seolah-olah semakin menghilang.
"Imigrasi manusia ini tanpa manage yang benar, tanpa intervensi dari negara
yang cukup baik, maka mustahil tidak berdekatan dengan perdagangan
manusia."
Dan terakhir, imbuh dia, terkait dengan
isu penyelundupan manusia yang menjadi penting. "Dunia sedang membicarakan
bagaimana menajemen imigrasi manusia, yang saat ini jumlahnya sudah 250 juta
orang, 3-4 persen penduduk di dunia adalah imigrasi, yang kencederungannya akan
meningkat terus," pungkasnya.
Analisis
dari berita di atas adalah Penerapan Demokrasi di Indonesia Masih "Galau"
Dimana
sistem yang diterapkan Indonesia kekinian ini masih mengalami dilema. Meski Indonesia sudah menjalankan sistem demokrasi 15
tahun lalu, dalam sistem demokrasi akan tersisih bila suatu negara tidak
mengadopsinya. Dimana sistem yang diterapkan Indonesia kekinian ini masih
mengalami dilema.
Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM
Benarkah
UUD 1945 "mengharamkan" hukuman mati? Ataukah, pendapat tersebut
sekadar dilontarkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konstitusi itu
sendiri? Satu hal yang pasti, konstitusi tidak pernah mengkhususkan
perlindungan HAM bagi terpidana mati, melainkan bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Dr. Maria Farida, berpendapat bahwa penerapan hukuman mati sama
sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada
satu pun ketentuan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan hukuman mati.
"Kalau dia sudah membunuh seseorang, dia sudah mengedarkan
narkotika, dan itu berakibat yang lebih banyak kepada orang lain, apakah dia
layak di dalam negara yang sesuai dengan Pancasila? Jadi, batasan itu tetap,
walaupun di sini hak untuk tidak disiksa dan sebagainya. Tapi, hak ini bisa
dibatasi kalau itu (diatur) dalam undang-undang," jelas Maria kepada hukumonline.
Maria juga menilai bahwa
sebagian kalangan yang menyatakan menolak hukuman mati telah mengutip dan menafsirkan
Pasal 28I UUD 1945 secara terpenggal-penggal. Dalam mengutip Pasal 28I UUD
1945, kelompok tersebut hanya berkutat pada ayat (1). Padahal, ayat tersebut
masih terkait erat dengan ayat selanjutnya yakni ayat (5). Hal demikian dikenal
sebagai penafsiran sistematis terhadap UU.
"Misalnya Pasal 28I
ayat (1), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak-hak ini tidak dapat
dikurangi dengan alasan apapun. Tapi, kemudian di sini dalam Pasal 28I ayat (5)
untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan," urainya.
Selain itu, ia tidak
melihat adanya pertentangan antara Pasal 28I dan Pasal 28J UUD 1945.
"Pasal 28J menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di sinikan
berarti haknya itu bukan haknya orang yang dihukum mati saja, tapi haknya orang
lain yang juga takut hal itu akan terjadi kembali," tegas Maria.
Melindungi masyarakat
Lebih jauh, Maria kembali
mengingatkan bahwa penjatuhan hukuman mati atas diri seseorang terjadi karena
dalam menjalankan hak asasinya orang yang bersangkutan telah melanggar hak
asasi orang lain di lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman mati
bertujuan untuk melindungi masyarakat yang takut tidak pidana tertentu terulang
kembali baik oleh pelaku yang sama maupun orang lain.
Kita tentu sering
mendengar di masyarakat bahwa para pelaku pembunuhan ataupun pengedar narkotika
yang telah menjalani hukuman atau para residivis seringkali mengulangi
perbuatannya begitu kembali ke masyarakat. Tentu saja, tanpa menafikan sebagian
residivis yang kemudian berprilaku baik selepas dari penjara.
Menurutnya, masalah sangat
penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan hukuman mati adalah
memberikan kepastian kepada para terpidana mati mengenai pelaksanaan eksekusi.
Di mata Maria, seharusnya para terpidana mati tidak dibiarkan terlalu lama
menunggu turunnya keputusan Presiden tentang diterima atau ditolaknya
permohonan grasi yang mereka ajukan.
"Jadi, itu mestinya
cepat. Begitu ada putusan, maka grasinya itu segera ditetapkan ditolak atau
diterima. Eksekusinya cepat. Kalau tidak di situ menimbulkan keraguan seseorang
dan juga menimbulkan suatu perasaan yang tidak enak bagi terpidana
sendiri," ucap Maria. Ia membandingkan dengan proses untuk hal serupa di
Jerman yang hanya memakan waktu paling lama enam tahun.
Analisis
dari berita di atas adalah tentanag hukum mati yang melangggar ham atau tida, Dr. Maria Farida, berpendapat bahwa penerapan hukuman
mati sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ia juga menegaskan bahwa
tidak ada satu pun ketentuan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan
hukuman mati.saya setuju dengan pendapat beliau karna oarang yang mengedarkan
narkotika itu sangat merugikan orang banyak, dan narkitika juga merupakan
barang haram, jadi pengedar narkotika harus di hukum mati saja
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7484/hukuman-mati-senafas-dengan-semangat-perlindungan-ham
0 komentar:
Posting Komentar